Dongeng rakyat nusantara yang terkenal berjudul Malin Kundang berikut dikutip dari buku Cerita Rakyat Nusantara 34 Provinsi oleh Penerbit Ruang Kata Imprint Kawan Pustaka (2017).
Site: https://theultimatejournal.com/
Alkisah di wilayah pesisir pantai wilayah Sumatera, hiduplah Ibu Rubayah dan anaknya bernama Malin Kundang. Suami Ibu Rubayah sudah lama meninggalkan mereka dan tak pernah kembali sejak itu.
Malin Kundang dan ibunya hidup sederhana berbekal berjualan kue di pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kelak jika sudah besar aku ingin merantau. Aku harus mengubah nasib!” kata Malin Kundang suatu hari.
Ketika menginjak remaja, sebuah kapal besar merapat di pantai. Malin terkagum-kagum memandangnya. Hari itu juga ia pamit pada ibunya untuk ikut dalam kapal itu.
Ibu Rubayah semula melarangnya. “Ini kesempatan baik bagi saya, Ibu!” ujar Malin Kundang. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar singgah di sini.” Lanjutnya.
Akhirnya dengan berat hati, Ibu Rubayah mengizinkannya. Air matanya berlinang saat mengantarkan Malin Kundang menaiki kapal itu. Tak lupa ia membekali tiga bungkus nasi untuk bekal di perjalanan.
Ketika kapal berangkat, Ibu Rubayah hanya bisa melambaikan tangannya sambil menangis hingga kapal itu menghilang di kejauhan.
Bertahun-tahun berlalu dengan cepatnya. Setiap hari Ibu Rubayah memandang ke laut berharap anaknya pulang. Tapi tak ada kapal besar merapat ke pantai.
Kabar Malin Kundang pun tak jelas, Ibu Rubayah pun semakin tua.
Tapi dengan setia, ia tetap datang ke pantai setiap hari menantikan anaknya pulang.
Hingga suatu hari tersiar kabar dari seorang nakhoda kapal bahwa Malin Kundang telah kaya raya dan menikah dengan gadis cantik putri seorang bangsawan. Betapa bahagianya hati Ibu Rubayah mendengar hal tersebut.
Kemudian tak lama setelah itu, sebuah kapal besar dan mewah merapat di pantai. Orang-orang ramai menyambut, itulah kapal Malin Kundang.
Di anjungan kapal, Malin Kundang menggandeng tangan wanita cantik berpakaian gemerlapan.
Ibu Rubayah menguak keramaian dan berusaha menemui anaknya. “Malin, anakku!” serunya.
Namun Malin Kundang tak menggubrisnya, istrinya bahkan meludah melihat Ibu Rubayah. “Cuih! Perempuan buruk inikah ibumu? Mengapa kau bohong padaku? Bukankah kau dulu berkata bahwa ibumu bangsawan sederajat dengan kami?”
Betapa malunya Malin Kundang mendengar perkataan istrinya itu. Apalagi setelah melihat pakaian Ibu Rubayah yang dekil dan compang-camping.
Untuk menutupi rasa malunya, ia berkata “Bukan, dia bukan ibukku!” lalu diusirnya Ibu Rubayah dengan kasar.
“Hei, perempuan dekil! Enyah kau dariku! Ibuku tidak melarat sepertimu!” bahkan Malin Kundang sampai menendang ibunya.
Setelah itu, Malin Kundang memerintahkan anak buahnya agar kembali berlayar. Betapa sedih hati Ibu Rubayah. Ia menangis sambil meratap, “Ya tuhan, kalau dia memang anakku, aku mohon keadilan-Mu!”
Tak lama kemudian, tiba-tiba turunlah hujan badai amat dahsyatnya. Kapal Malin Kundang disambar petir dan pecah dihantam gelombang besar.
Pecahan kapalnya menyebar ke tepi. Setelah terang, tampak sebongkah batu menyerupai manusia terdampar di pinggir pantai. Itulah tubuh Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu.